Jumat, 02 Januari 2009

Hikmah di Balik Pergantian Tahun


Hari demi hari berlalu. Demikian juga minggu, bulan dan tahun. Kita, baik sebagai individu maupun masyarakat, dalam hari-hari yang berlalu itu senantiasa mengisi lembaran-lembaran yang setiap tahun kita tutup untuk kemudian membuka lagi lembaran baru pada tahun berikut. Lembaran-lembaran itu adalah sejarah hidup kita secara amat rinci, dan itulah kelak yang akan disodorkan kepada kita – sebagai individu dan masyarakat – untuk dibaca dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada Hari Kemudian nanti.

Bacalah lembaran (kitabmu), cukuplah engkau sendiri hari ini yang melakukan perhitungan atas dirimu. (QS. 17 : 14) Engkau akan melihat setiap umat berlutut, setiap umat diajak untuk membaca kitab amalan (sejarahnya). (QS. 45 : 28)
Al-Quran adalah buku pertama yang menegaskan bahwa bukan hanya individu, tetapi juga bangsa dan masyarakat, mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mengarahkan dan menentukan keruntuhan dan kebangkitannya. Masyarakat terdiri dari individu-individu dan manusia sebagai individu mempunyai potensi untuk mengarahkan masyarakat dan diarahkan olehnya. Karena itu manusia sebagai individu dan manusia sebagai kelompok masyarakat bertanggung jawab atas dirinya maupun atas masyarakatnya. Dari sinilah lahir apa yang dikenal dalam istilah Hukum Islam sebagai fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.

Tuhan tidak mengubah keadaan suatu masyarakat, sebelum mereka mengubah (terlebih dahulu) sikap mental mereka. (QS. 13 : 11) Begitu bunyi sebuah ayat yang menafikan secara tegas ketentuan ekonomi sejarah dan secara tegas pula menempatkan sikap terdalam manusia sebagai faktor penentu kelahiran sejarah. Dari sini dapat dipahami, mengapa para Nabi memulai langkah mereka dengan menanamkan kesadaran terdalam itu dalam jiwa umat. Dari mana Anda datang? Ke mana Anda menuju? Bagaimana alam ini mewujud dan ke arah mana ia bergerak? “Semua dari Allah dan akan kembali kepada-Nya” dan “Akhir segala siklus adalah kembali ke permulaan”, demikian para sufi dan filosof Muslim merumuskan.

Itulah kesadaran pertama yang ditanamkan pada manusia. Kemudian disusul dengan kesadaran jenis kedua, yaitu kesadaran akan kemanusiaan manusia serta kehormatannya. Ruh Ilahi dan potensi berpengetahuan yang diperoleh makhluk ini dari Tuhan, mengundangnya untuk memanusiakan dirinya dengan jalan mengaktualkan pada dirinya sifat-sifat Ilahi sesuai dengan kemampuannya. Dan kesadaran ketiga yang ditanamkannya adalah kesadaran akan tanggung jawab sosial.

Mengapa kalian tidak berjuang di jalan Allah, sedangkan kaum lemah tertindas, baik lelaki, wanita, maupun anak-anak bermohon agar mereka dikaruniai penolong dan pelindung dari sisi Allah. Demikian pesan Al-Quran surah An-Nisa ayat 75.
Ayat di atas mengandung dua nilai keruhanian, yakni keniscayaan berjuang di jalan Allah dan tanggung jawab melindungi kaum lemah.
Perjuangan yang dilakukan karena Allah dan yang digerakkan oleh nilai-nilai suci itulah yang memajukan umat manusia dan peradabannya sekaligus mengukir sejarahnya dengan tinta emas.

Nah, jika manusia atau masyarakat mampu mengisi hari-hari yang berlalu dalam hidupnya atas dasar kesadaran di atas, maka di sanalah dia mendapatkan kebahagiaan abadi. Dalam hal ini Al-Quran menegaskan : Mereka itulah yang akan menerima lembaran sejarah hidupnya dengan tangan kanannya. (QS. 17 : 71)
(Dari Lentera Hati – M Quraish Shihab)
Selengkapnya...